Skripsi Pendidikan Agama Islam (PAI)

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakan Masalah
Pendidikan dalam Islam merupakan proses sebagai usaha untuk membimbing dan mengembangkan pitensi sebagai makhluk sosial secara bertahap sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan, jenis kelamin, bakat, tingkat kecerdasan serta potensi spiritual yang dimiliki masing-masing secara maksimal (Malik Fadjar, 1999:94). Oleh karena itu, pendidikan Islam memuat pentahapan dan metode sesuai dengan sasaran subyek didik termasuk dalam sasaran pendidikan di sini adalah pendidikan dalam keluarga yang dilakukan oleh dan untuk anggota keluarga yang bertujuan untuk membentuk kepribadian seseorang yang membuatnya menjadi insane kamil dengan pola taqwa.
Keluarga merupakan lembaga sosial pertama dan utama perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak. Terbentuknya masyarakan yang bermoral berawal dari keluarga yang baik. Oleh karena itu setiap orang agar memperbaiki dirinya dan taat dan keluarganya. Sebagaimana seorang pemimpin taat pada yang dipimpinnya, sabda Nabi saw:
كلكم راع وكلكم مسنول عن رعيته فالامير الذى على الناس راع مسؤل عن رعيته والرجل راع اهل بيته
“Bahwa tiap kamu adalah pemimpin dan tiap-tiap kamu bertanggung jawab terhadap imam adalah pemimpin dan ia bertanggung jawab atas mereka seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan ia bertanggung jawab atas mereka” (Al Qurthuby, 1977:97)
Orang tua dalam ajaran Islam berkewajiban untuk mendidik anak-anaknya dengan budi pekerti yang baik, dengan adapt sopan santun menurut tuntunan akhlak alkarimah sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi saw. Islam juga menyuruh agar para orang tua belaku sebagai kepala dan pemimpin dalam keluargannya serta berkewajiban untuk memelihara dari api neraka. Sebagaimana firman Allah swt dalam surat At-Tahrim 6:
قوا انفسكم و اهليكم نارا
Artinya: “Hai orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka: (Depag RI, 1989:951).
Mantep Miharso (1995:100) mengatakan memelihara keluarga adalah mendidik dengan pendidikan keagamaan agar semua anggota keluarga taat kepada Allah menjalankan yang diperintahkan dan menjauhi larangan-Nya. Penanaman keagamaan pada dasarnya oleh orang tua dilakukan sejak dini caranya melalui keteladanan dan pembiasaan karena orang tua adalah orang yang menjadi anutan anaknya. Artinya pendidikan dalam keluarga sangatlah perlu karena keluarga adalah satu-satunya institusi pendidikan yang melajutkan pendidikan keagamaan bagi anak-anaknya. Melakukan pembinaan agama di keluarga berarti ikut berusaha menyelamatkan generasi muda (Tafsir, 2002:9).
Bersarkan kenyataan itu, maka dalam pembangunan pendidikan Islam, kiranya tidak berlebihan bila dikatakan bahwa agama merupakan unsur vital yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja dalam proses pendidikan . orang tua akan mewariskan tingkah laku, tabiat, tradisi, sifat-sifat keturunan, bahkan hampir seluruh masa muda dipengaruhi orang tua. Kemudian pendidikan baik formal maupun informal merupakan proses life long education yang juga merupakan agen pembangunan.
Sejalan dengan pokok pikiran di atas, maka dalam paragdigma pendidikan Islam, bahwa pendidikan dimulai dari rumah tangga (keluarga) dilanjutkan di sekolah dan sekaligur dalam masyarakat (Zakiyah Daradjat, 1975:42). Khusus mengenai pendidikan di lingkungan keluarga, maka GBHN 1993 mengisyaratkan sebagai berikut, bahwa:
“Pembinaan terhadap pendidikan di lingkungan keluarga sebagai tempat pendidikan pertama dan utama sebagai pendidikan pra sekolah, disamping wahana sosialisasi awal sebelum pendidikan dasar, dikembangkan agar lebih mampu melestarikan landasan pembentukkan watak dan kepribadian dan pergaulan, penanaman dan pengenalan agama” (Anonimous, 1993:99).

Atas dasar itulah berarti eksistensi pendidikan di lingkunga keluarga dalam menanamkan nilai-nilai agama itu cukup tragis dan sangan penting artinya. Kenyataan tersebut juga lebih ditegaskan di dalam GBHN 1993 berikut, bahwa pembinaan anak dilaksanakan melalui pembinaan perilaku kehidupan beragama (Anonimous, 1993:107). Pernyataan ini tentang pentingnya pendidikan agama dalam keluarga, begitu juga ditegaskan oleh Ahmad Tafsir (1992:159) bahwa pembangunan sumber daya manusia termasuk pembinaan anak erat kaitannya dengan penumbuhan nilai-nilai seperti taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Kini semakin jelas bahwa peranan pendidikan agama dalam keluarga cukup penting dalam membangun generasi manusia mendatang dalam upaya mengisi pembangunan. Tantangan-tantangan pendidikan termasuk lembaga pendidikan keluarga tersebut mengandung implikasi bahwa lembaga pendidikan keluarga mempunyai peran ganda, yakni sebagai agen pewarisan (agent of corservation) dan sebagai agen perubahan (agent of change) (Muhaimin dan MUjib, 1993:313). Namun pekerjaan membangun manusia yang bertaqwa seperti yang diharapkan di atas adalah tidak semudah membalikkan telapak tangan, banyak tantangan yang harus dihadapi untuk mewujudkan usaha tersebut.
Menurut Muhaimin dan Mujib (1993:315), minimal ada tiga fenomena yang menjadi tantangan dunia pendidikan khususnya pendidikan Islam, yaitu westernisasi, modernisasi dan reformasi. Westernisasi adalah suatu konsep yang menginginkan penyesuaian Islam dengan pemikiran dan peradaban Barat dalam berbagai aspeknya, mulai dari masalah akidah, politik, ekonomi sampai masalah moral. Modernisasi merupakan suatu konsep yang ingin mengadakan perubahan-perubahan dalam pemahaman, penafsiran, dan perumusan masalah-masalah keislaman dengan pretense ingin mengaktualisasikan Islam dalam kehidupan modern. Dan reformasi merupakan suatu konsep yang ingin memperbaharui Islam yang inklusif dengan Islam ekslusif.
Segala persoalan pendidikan yang semakin berat dan kompleks tersebut adalah masalah yang harus dihadapi dan diatasi oleh para pendidik dan pelaksana pendidikan keluarga. Dalam hal ini adalah bagaimana usaha pendidikan agama dalam keluarga itu harus diselenggarakan sehingga dapat menghantarkan anak didik menjadi manusia yang berilmu dan berakhlak mulia.
Untuk menghadapi persoalan-persoalan pendidikan agama dalam keluarga yang semakin berat dan kompleks itu, maka penyelenggara pendidikan agama dalam keluarga tidak mungkin dapat dilakukan secara asal-asalan, tetapi perlu diselenggarakan secara professional oleh para orang tua maupun para pendidik secara komprehensif dengan perencanaan yang matang, pengorganisasian yang tepat, pelaksanaan yang efektif dan efisien serta dengan pengawasan dan evaluasi yang berhasil guna dan berdaya guna. Dengan kata lain, bahwa dalam menghadapi tantangan pendidikan agama dalam keluarga yang semakin kompleks dengan problemnya yang kompleks pula, maka penyelenggaraan pendidikan agama dalam keluarga akan berjalan secara efektif dan efisien, bila terlebih dahulu dapat diidentifikasi dan diantisipasikan masalah-masalah yang akan dihadapi. Kemudian atas dasar pengenalan medan, disusunlah rencana pendidikan agama dalam keluarga yang tepat. Selanjutnya untuk melaksanakan rencana yang telah disusun itu dipersiapkan pula pelaksana (pendidik) yang memiliki kemampuan (kapasitas) yang sepadan serta mereka diatur dan diorganisir dalam kesatuan-kesatuan yang seimbang dengan luasnya usaha pendidikan agama yang akan dilakukan. Demikian pula mereka diatur dan diorganisir dalam kesatuan-kesatuan tersebut kemudian digerakkan dan diarahkan pada sasaran-sasaran atau tujuan pendidikan agama dalam keluarga yang dikehendaki. Akhirnya, tindakan-tindakan seperti itu diteliti dan dinilai apakah sudah sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan atau sebaliknya terjadi penyimpangan-penyimpangan.
Kemampuan untuk mengidentifikasi masalah, kemudian menyusun rencana yang tepat, mengatur dan mengorganisir para pelaksana pendidikan agama dalam keluarga dalam kesatuan-kesatuan tertentu. Selanjutnya menggerakkan dan mengarahkan pada sasaran-sasaran atau tujuan yang dikehendaki, begitu pula kemampuan untuk mengawasi atau mengendalikan tindakan-tindakan pendidikan agama seperti itu dapatlah disebut dengan istilah Manajemen (Abdul Rosyad Saleh, 1977:4). Menurut Terry dalam bukunya Principle of Management (1935:10) yang dimaksud dengan manajemen adalah kerangka kerja dalam mencapai tujuan dengan cara mengarahkan orang-orang.
Sedangkan menurut Ishak Soleh (1990:9) hakikat manajemen itu adalah pengaturan dan kemampuan menggerakkan orang-orang untuk bekerja dan bersikap sesuai dengan harapan manajer, sehingga tujuan yang telah ditentukan terlebih dahulu itu dapat tercapai dengan cepat, tepat, dan selamat. Manajemen baik sebagai ilmu (science) maupun sebagai seni (art), pada mulanya tumbuh dan berkembang di kalangan dunia industri dan perusahaan. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya ternyata sangat diperlukan dan bermanfaat bagi setiap usaha dalam, sebagai lapangan kehidupan. Pada zaman sekarang boleh dikatakan tidak ada suatu usaha yang tidak mempergunakan manajemen. Oleh karenanya maka usaha pendidikan agama dalam keluarga yang memerlukan penanganan khusus tentulah tidak dapat berjalan secara efektif dan efisien apabila di dalam pelaksanaannya itu tidak memanfaatkan fungsi-fungsi manajemen.
Berdasarkan pertimbangan dan alasan sebagaimana telah diuraikan di atas, dan didukung pula oleh kenyataan bahwa masih sedikit orang terutama para pendidik sendiri menganggap terhadap pentingnya manajemen bagi proses pendidikan agama dalam keluarga khususnya dan umumnya proses pendidikan Islam, maka penulis ingin meneliti lebih mendalam tentang bagaimana penerapan fungsi-fungsi manajemen dalam pendidikan agama di lingkungan keluarga, kemudian dalam suatu penelitian yang berjudul Manajemen Pendidikan Agama dalam Keluarga (Analisis Ilmu Pendidikan Islam).

B.    Perumusan Masalah
Mencermati terhadap latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.    Bagaimana pentingnya fungsi manajemen dalam pendidikan agama di keluarga?
2.    Bagaimana cara menerapkan fungsi-fungsi manajemen dalam pendidikan agama di lingkungan keluarga?
3.    Apa yang menjadi faktor pendukung dan penghambat dalam penerapan fungsi-fungsi manajemen pendidikan agama dalam keluarga?

C.    Tujuan Penelitian
Selaras dengan perumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.    Untuk mengetahui bagaimana pentingnya fungsi manajemen dalam pendidikan agama di keluarga
2.    Untuk mengetahui cara menerapkan fungsi-fungsi manajemen dalam pendidikan agama di lingkungan keluarga.
3.    Untuk mengetahui apa yang menjadi faktor pendukung dan penghambat dalam penerapan fungsi-fungsi manajemen pendidikan agama di keluarga.

D.    Kerangka Pemikiran
Ahmad D. Marimba dalam bukunya Pengantar Filsafat Pendidikan (1989:19), mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan secara umum adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian utama.
Sedangkan menurut Muhammad Arifin dalam bukunya Administrasi dan Supervisi Pendidikan (1989:11), mendefinisikan bahwa pendidikan meliputi segala pertolongan dan pimpinan yang diberikan kepada anak-anak yang belum dewasa dengan maksud supaya kelak sanggup melakukan tugasnya dalam masyarakat. Pendidikan mencakup usaha untuk meneruskan atau memindahkan ilmu kepada yang masih muda berbagai keterampilan, kepercayaan atau memindahkan ilmu kepada yang masih muda berbagai keterampilan, kepercayaan, sikap dan segi-segi lain dari tingkah laku yang tidak mereka miliki sebelumnya.
Atau dengan kata lain, seperti yang diungkapkan oleh Muhaimin dan Mujib (1993:136), bahwa pendidikan adalah proses transformasi dan internalisasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai pada diri anak didik melalui fitrahnya guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup dalam segala aspek. Dari definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan secara umum adalah proses pendewasaan anak didik dalam berbagai aspeknya oleh pendidik yang dilakukan secara sadar guna menumbuhkan potensi-potensi anak didik.
Salah satu aspek kehidupan yang menjadi arahan pendidikan adalah aspek agama atau pendidikan agama. Dalam pandangan Zuhairini (1983:27), yang disebut pendidikan agama adalah usaha-usaha secara sistematis dan pragmatis dalam membantu anak didik agar mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam. Adapun tujuan yang diharapkan dari pendidikan agama adalah sebagai berikut:
1.    Persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat
2.    Perwujudan sendiri sesuai dengan pandangan Islam
3.    Persiapan untuk menjadi warga Negara yang baik
4.    Perkembangan yang menyeluruh dan terpadu bagi pribadi belajar (Hasan Langgulung, 1980:179)
Sedangkan tujuan pendidikan agama menurut Zuhairini (1983:45) terbagi menjadi dua bentuk, yakni:
Tujuan umum dan tujuan khsus. Tujuan umum pendidikan agama ialah membimbing anak didik agar mereka menjadi orang muslim sejati, beriman teguh, beramal soleh dan berakhlak mulia. Sedangkan tujuan khusus pendidikan agama adalah tujuan pendidikan agama pada setiap tingkat yang dilalui, seperti tujuan pendidikan agama dalam keluarga yang berbeda dengan tujuan pendidikan agama pada anak sekolah.

Menurut Zakiah Darajat (1975:42), bahwa pendidikan agama akan terfokus dalam tiga wahana yaitu: keluarga, sekolah, dan masyarakat. Berdasarkan hak itulah, maka salah satu wahana pendidikan agama adalah lingkungan keluarga. Dalam pandangan Wahyu (1986:57), yang dimaksud keluarga adalah suatu kesatuan social terkecil yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki tempat tinggal dan ditandai oleh kerjasama otonomi, berkembang, mendidik, melindungi, merawat dan sebagainya. Sedangkan inti keluarga adalah ayah, ibu dan anak.
Syahminan Zaini dalam bukunya Prinsip-prinsip Konsepsi Pendidikan Islam (1988:154), menegaskan sebagai berikut:
Sebagai pendidik anak-anaknya, ayah dan ibu memiliki kewajiban yang berbeda karena perbedaan kodratnya. Ayah berkewajiban mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan keluarganya melalui pemanfaatan karunia Allah di muka bumi dan selanjutnya dinafkahkan  pada anak istrinya. Sedangkan kewajiban ibu adalah menjaga, memelihara dan mengelola keluarga di rumah suaminya, lebih lagi mendidik dan merawat.

Khusus mengenai pendidikan agama di lingkungan keluarga sebagaimana telah ditegaskan dalam GBHN 1993 mengisyaratkan sebagai berikut:
Pembinaan terhadap pendidikan di lingkungan keluarga sebagai tempat pendidikan pertama dan utama sebagai pendidikan pra-sekolah disamping wahana sosialisasi awal sebelum pendidikan dasar, dikembangkan agar lebih mampu melestarikan landasan, pembentukkan watak dan kepribadian dan pergaulan, penerimaan dan pengenalan agama (Anonimous, 1993:99)

Pernyataan ini tentang pentingnya pendidikan agama dalam keluarga sebagai pembentukkan nilai-nilai dan kepribadian. Begitu juga ditegaskan oleh Ahmad Tafsir (1992:159) bahwa pembangunan sumber daya manusia termasuk pembinaan anak erat kaitannya dengan penumbuhan nilai-nilai agama seperti taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dari uraian di atas, berarti peranan orang tua dalam mendidik anak di keluarga adalah penting, karena orang tua merupakan pendidik utama dan pertama di lingkungan keluarga. Oleh karena itu dalam upaya membentuk kepribadian yang baik terhadap anak, orang perlu membiasakan tuntunan ajaran Islam, sesuai kemampuan orang tua masing-masing. Adapun menurut Abu Ahmadi dalam bukunya Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam (1994:4), menyebutkan bahwa ruang lingkup pendidikan agama secara garis besar meliputi tiga unsure yaitu: keimanan (keyakinan), keislaman dan akhlak. Sedangkan menurut Ali Saefullah dalam bukunya Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (1994:190), menyebutkan ada beberapa dasar pendidikan agama dalam keluarga, yaitu:
1.    Dasar pendidikan tauhid
2.    Dasar pendidikan akhlak
3.    Dasar pendikan pembiasaan
4.    Dasar pendidikan intelek
5.    Dasar pendidikan social
6.    Dasar pendidikan kewarganegaraan
Berkenaan dengan pendidikan Islam, maka yang menjadi tujuan utama pendidikan dalam keluarga menurut ajaran Islam adalah agar anak-anak taat beribadah. Hal ini sebagaimana terlihat dalam surat Adz-Dzariyat ayat 56:
وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون
Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah pada-Ku (Depag RI, 1994:826)
Tujuan tersebut pada gilirannya merupakan tanggung jawab individu masing-masing terhadap keluarganya agar terhindar dari api nereka, seperti firman Allah, dalam surat At-Tahrim ayat 6:
قوا أنفسكم وأهليكم نارا
Artinya: “Hai Orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (Depag RI, 1994:951)
Berdasarkan hal itulah, maka secara sederhana bahwa tujuan pendidikan agama dalam keluarga adalah mendidik anak menjadi anak yang soleh. Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Ahmad Tafsir dalam bukunya Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (1992:163), bahwa tujuan pendidikan agama dalam keluarga adalah menciptakan anak soleh yakni anak yang akan mengangkat derajat orang tuanya, anak yang cerdas, terampil dan berakhlak mulia. Atau dengan kata lain, tujuan pendidikan agama dalam keluarga adalah untuk menciptakan anak yang berkualitas.
Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan adanya upaya kerjasama yang komprehensif di antara keluarga, terutama antara Ayah dan Ibu. Kerjasama untuk mencapai suatu tujuan dalam istilah ilmu disebut Manajemen. Manajemen jika dilihat dari arti kata asalnya adalah berasal dari kata mano dari bahasa Latin yang berarti tangan. Maksudnya menurut Ishak Soleh (1990:8), adalah bahwa tangan sebagai alat yang utama pada diri manusia untuk melaksanakan tugasnya. Dengan tangan manusia dapat mencapai apa yang diinginkannya.
Dari pengertian dasar itulah, kemudian di Indonesia banyak dipergunakan istilah manajemen menurut terminology bahasa Inggris yaitu management. Menurut Peter Salim dalam kamusnya Advance English Indonesia Dictionary bahwa arti manajemen dalam bahasa Inggris mengandung tiga arti, yiatu:
1.    Pengelolaan
2.    Penanganan yang seksama
3.    Pimpinan pengelola perusahaan
Setiap usaha tentu saja memerlukan manajemen, usaha yang bagaimana pun sederhananya. Umpamanya usaha mau mengikuti perkuliahan dengan harapan memperoleh nilai yang tinggi, maka memerlukan pula manajemen agar tujuan tersebut tercapai.
Dari pemaparan di atas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan manajemen di sini tidak sepenuhnya sama dengan apa yang dimaksud dengan manajemen dalam arti kata-kata sehari-hari. Dari beberapa definisi yang banyak diungkapkan oleh para ahli manajemen, yaitu suatu proses atau kegiatan usaha untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan terlebih dahulu melalui usaha-usaha orang lain, sehingga kalau ada usaha-usaha penyelesaian pekerjaan tanpa melalui usaha-usaha kerjasama dengan orang lain, maka tidak dapat disebut manajemen. Dengan demikian hakikat itu adalah pengaturan dan kemampuannya menggerakkan orang-orang untuk bekerja dan bersikap sesuai dengan harapan manajer, sehingga tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu itu dapat dicapai dengan cepat, tepat dan selamat.
Menurut winardi (1970:25-27), ada beberapa fungsi manajemen yang paling pokok, yaitu: planning (perencanaan), organizing (pengorganisasian), actuating (penggerakan) dan controlling (pengawasan). Berdasarkan kedua pengertian tentang pendidikan agama dalam keluarga dan manajemen berserta fungsi-fungsinya, maka jelaslah bahwa kedua pengertian tersebut mengandung arti suatu usaha dalam mencapai tujuan. Pendidikan agama dalam keluarga bertujuan untuk membentuk anak yang saleh yang berkualitas. Sedangkan manajemen bertujuan untuk mencapai suatu kerjasama melalui penggerakan dengan orang lain.
Makna manajemen pendidikan itu sendiri menurut Ishak Soleh (1990:50), adalah suatu usaha penyesuaian tujuan pendidikan yang telah ditentukkan terlebih dahulu melalui orang-orang lain baik para pendidik itu sendiri maupun para pembantunya. Manajemen pendidikan merupakan suatu proses keseluruhan kegiatan bersama dalam bidang pendidikan mengenai perencanaan, pengorganisasian, penggerakkanm pengawasan, penilaian dengan menggunakan segala fasilitas yang tersedia termasuk manusia dan materi dalam mencapai tujuan.
Berdasarkan hal itulah, maka apabila dikaitkan dengan masalah pendidikan agama dalam keluarga, maka untuk mencapai suatu tujuan pendidikan agama dalam keluarga tersebut diperlukan adanya penerapan fungsi-fungsi manajemen secara mendasar. Atau dengan kata lain, bagaimana menerapkan fungsi-fungsi manajemen dalam pendidikan agama di lingkungan keluarga, teratama penerapan fungsi-fungsi perencanaan, pengorganisasian, penggerakkan dan pengawasan.
Perencanaan pengembangan pendidikan merupakan pemberian gambaran tindakan-tindakan yang akan dating, meliputi: apa, siapa, dimana, mengapa dan bagaimana melakukannya. Sedangkan pengorganisasian merupakan kegiatan penempatan tugas dan jabatan, material atau ide-ide, serta kegiatan human raltion atau dengan kata lain dalam pengorganisasian yang diperlukan adalah penempatan orang-orang yang sesuai dengan kemampuannya. Adapun penggerakkan dalam pendidikan adalah fungsi melaksanakan perencanaan dan pengorganisasian. Sedangkan pengawasan dan pengendalian kegiatan untuk menentukan dan menciptakan, kondisi-kondisi penting yang dapat menjamin terciptanya tujuan pendidikan.
Mengingat tentang pengertian di atas, maka apabila diterapkan dalam manajemen pendidikan agama keluarga, berarti telah jelas bahwa di dalam manajemen pendidikan agama di lingkungan keluarga perlu jelas perencanaannya, pengorganisasian, penggerakkan, pengawasannya. Hal ini berarti orang tua sebagai manajer pendidikan agama dalam keluarga perlu membuat perencanaan pendidikan agama yang jelas bagi keluarganya baik untuk jangka panjang, menengah, pendek yang meliputi keimanan, keislaman, dan akhlak. Setelah itu barulah melakukan pengorganisasian dengan cara menepatkan dirinya sebagai pendidik utama dan pertama dengan cara membagi tugas (job description) antara ayah dan Ibu dalam pendidikan agama pada anaknya di keluarga.
Di samping itu, perlu adanya upaya penggerakkan dan pengawasan yang jelas tentang pelaksanaan pendidikan agama dalam keluarga agar pencapaian tujuan yang diharapkan yakni membentuk anak saleh yang berkualitas itu terwujud dengan baik, efektif dan selamat sesuai rencana. Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, untuk memudahkan pembaca memahaminya, maka akan dibuat dalam skema secara sederhana sebagai berikut:

E.    Langkah-langkah Penelitian
Untuk membahas judul penelitian manajemen pendidikan agama dalam keluarga, digunakan analisis penerapan fungsi-fungsi manajemen dalam pendidikan agama dikeluarga, diperlukan sejumlah data kualitatif dan teknik pengumpulan data. Data itu diperlukan untuk memberikan nilai keilmiahan dari penelitian ini yang pada gilirannya data tersebut akan dianalisis secara logis sehingga mudah dipahami dan dimengerti oleh setiap pembaca. Sedangkan teknik pengumpulan data diperlukan untuk menunjukkan hubungan logis antara data yang satu dengan data yang lainnya. Secara spesifik pengkajian masalah di atas dapat diuraikan dengan langkah-langkah berikut:
1.    Penentuan Jenis Data
Dalam penelitian ini menggunakan jenis data kualitatif yang menyangkut data-data tentang masalah yang akan dibahas yakni manajemen pendidikan agama dalam keluarga analisis penerapan fungsi-fungsi manajemen dalam pendidikan agama di keluarga.
Menurut Loffland yang dikutip oleh Lexy bahwa jenis data utama dalam penelitian adalah kata-kata dan tindakan, data tertulis, photo dan statistic (Lexy), 1993:112). Kata-kata dan tindakan orang yang diamati atau diwawancarai merupakan data utama. Sedangkan jenis data kedua dicatat melalui catatan tertulis atau melalui perekam. Dari keempat jenis data yang disebutkan Loffland du atas, jenis data yang dijadikan kajian dalam penelitian ini adalah jenis data tertulis.
2.    Penentuan Sumber Data
Sumber data yang dianggap membantu dalam penelitian ini adalah sumber data tertulis. Sumber data yang tertulis terdiri dari sumber data primer dan skunder. Data primer adalah buku-buku yang berkaitan dengan manajemen pandidikan agama di keluarga, pendidikan agama dalam keluarga, mendambakan anak soleh, dasar-dasar pendidikan anak menurut Islam, pendidikan keluarga qur’ani,  dan buku lain yang relevan dengan materi pembahasan di atas. Sedangkan data skunder adalah imu manajemen, ilmu pendidikan dan dokumen lain yang kiranya menunjang validitas data literature.
3.    Penentuan Metode dan Teknik Pengumpulan Data
a.    Metode
Metode yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah metode Induktif Nana Sudjana (1989:196) menyebutkan bahwa penelitian dengan menggunakan metode Induktif tertuju pada konsep-konsep yang timbul dari data teoritis dengan ketepatan interpretasi, ketajaman analisis, obyektivitas, sistematik dengan menuturkan, menganalisa dan mengklasifikasi.
b.    Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan dan studi dokumentasi, yaitu metode mencari data mengenai hal-hal atau variabel-variabel yang berupa catatan, transkip, buku, majalah dan lainnya (Suharsimi, 1993:202).
4.    Penentuan Analisis Data
Oleh karena dalam penelitian ini menggunakan data kualitatif, maka selanjutnya akan dianalisis secara logis dengan dibantu oleh ilmu manajemen pendidikan sebagai alat analisisnya. Adapun teknik analisis yang digunakan meliputi langkah-langkah sebagai berikut:
a.    Proses Satuan
Pada dasarnya satuan adalah alat untuk mengaluskan data satuan. Satuan adalah bagian terkecil yang mengandung makna bulat dan berdiri sendiri. Dalam hal ini membaca, mempelajari, setelah itu mengidentifikasi satuan-satuan analisis dan memasukannya ke dalam kartu indeks (Lexy, 1993:192). Dalam proses satuannya adalah memproses masalah-masalah pendidikan agama di keluarga dengan kerangka fungsi manajemen.
b.    Kategorisasi
Kategorisasi berarti penyusunan kategori. Kategori adalah salah satu tumpukkan yang disusun atau pikiran, intuisi, pendapat atau kroteria tertentu (Lexy, 1993:193) dengan kategori ini maka akan dikelompokkan data yang telah ada berdasarkan pola dalam kerangka pikiran yang ada dalam penelitian ini. data tersebut yang akan dikategorikan dalam penelitian ini. Data tersebut akan dikategorikan dalam penelitian pendidikan agama dalam keluarga, yang meliputi dasar, tujuan dan evaluasi pendidikan agama. Adapun dalam kerangka fungsi manajemen meliputi perencanaan, pengorganisasian, penggerakkan dan pengawasan pendidikan agama di keluarga.
c.    Penafsiran Data
Setelah pemerosesan dan kategorisasi, langkah berikutnya adalah penafsiran data. Maksudnya untuk menetapkan makna fakta-fakta yang diperoleh secara utuh melalui penafsiran. Penafsiran ini dilakukan sejak pengumpulan data atau selama penelitian sehingga dalam penelitian ini akan terlihat dengan jelasa tentang manajemen pendidikan agama dalam keluarga analisis penerapan fungsi-fungsi manajemen pendidikan agama dalam keluarga.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites